Sawit di lahan gambut Rawa Tripa Aceh

Perambahan Hutan di Aceh; potret kehidupan masyarakat

Pembakaran lahan untuk mengusahakan kebun merupakan hal yang umum terjadi. Selain murah dan praktis, pembakaran juga dianggap dapat meningkatkan kesuburan lahan kebun

Penambangan Tradisional di Aceh

Sebuah tantangan untuk menghidupi keluarga. Daerah kerja yang berat dan resiko kerja yang tinggi. Perlu sebuah pembinaan agar penurunan kualitas lingkungan tidak terjadi begitu besar. Dan dapatkah kegiatan ini menjadi usaha ekonomi yang lestari?

Cendana Aceh

Cendana Aceh ini dalam bahasa pemasaran masuk dalam kelompok 'cendana jenggi'. Berbeda dengan Cendana NTT (,Santalum album, yang memiliki aroma khas yang kuat, cendana jenggi beraroma kurang kuat, namun memiliki peluang ekspor yang besar untuk pasar Cina dan Timur Tengah. Perlu pengembangan oleh pemerintah daerah

This is

Go to

Tampilkan postingan dengan label Konservasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Konservasi. Tampilkan semua postingan

Senin, 16 Juli 2012

LOKASI HOTSPOT KEBAKARAN HUTAN dan LAHAN di ACEH (TERBARU)

Rekap hotspot / kebakaran di hutan / lahan di Aceh

  • 15 Juli 2012 ; Latitude 2.557; Longitude 97.960. Prediksi tipe ; Hutan Sekunder.  Confidence : 56.  Akurasi jarak = +- 100 m.
  • 16 Juli 2012 ;   Latitude  4.723 ; Longitude 96.820. Prediksi tipe ; Pertanian.
  • 16 Juli 2012 ;   Latitude  3.870 ; Longitude 96.614. Prediksi tipe ; Hutan rawa.
  • 16 Juli 2012 ;   Latitude  3.881 ; Longitude 96.615. Prediksi tipe ; Hutan rawa
  • 16 Juli 2012 ;   Latitude  4.306 ; Longitude 96.036. Prediksi tipe ; Hutan rawa
  • 16 Juli 2012 ;   Latitude  4.260 ; Longitude 96.013. Prediksi tipe ; Hutan rawa

Jumat, 13 Juli 2012

Penelitian di Siak Kecil, Riau.

Permanent plot seluas 3 hektare, terdiri atas hutan primer dan hutan sekunder. Ditemukan 135 spesies dalam 34 familia. Keanekaragaman spesies tertinggi justru ditemukan pada daerah (plot) areal bekas tebangan, dengan kerapatan 2,5 batang per hektare. Regenerasi alami tidak memungkinkan terjadinya restorasi alami, sehingga diperlukan pengayaan / campur tangan manusia.


ANTARA RAWA TRIPA, REINVENSI DAN REORGANISASI HUTAN, SERTA MASYARAKAT DUNIA: KEPENTINGAN SIAPA?

"forest management will require a fundamental reinvention and reorganization of societies throughout the world" 
Membaca pernyataan Pak SBY diatas, menggelitik pemikiranku, karena membaca satu komentar singkat dari pembaca luar negeri yang mengkaitkan dengan hotspot di Nagan Raya (sekitar Rawa Tripa)

  1. Kepentingan siapa untuk menjaga hutan Indonesia atau hutan Aceh ?
  2. Apa manfat bagi Nagan Raya dan Aceh dengan booming isu rawa tripa di dunia?
  3. Apa kerugian bagi Nagan Raya dan Aceh ?
  4. Kemungkinan adanya arus modal asing yang akan berputar secara semu di Aceh ?
1.Kepentingan Siapa untuk Menjaga Hutan ?
    
Tidak dapat dipungkiri bahwa menjaga kelestarian hutan, merupakan satu keharusan . Secara biologi, keberadaan rawa memiliki banyak peran, terutama peran/ manfaat  tidak langsung. Rawa berperan sebagai daerah tangkapan air, penyimpanan sumber air, dan sekaligus sebagai restorasi alami penyediaan air bersih bagi daerah sekitarnya.  Masalahnya, yang namanya sebuah manfaat, secara alami, manusia cendrung mengkonversikannya dengan satuan manfaat ekonomi. Jelasnya berapa rupiah yang akan diterima, dan juga...  nilai saat ini (present value), bukan nilai masa depan (future value).

Walau mulut sampai berbuih menyampaikan kepada masyarakat bahwa rawa tripa punya sejuta manfaat, penyuluhan tidak akan berhasil jika masyarakat setempat (di sekitar Tripa) belum dapat melepaskan diri dari ketergantungan harian terhadap uang cash. Ya.. ketergantungan harian. Sudah umum terjadi, masyarakat kecil hanya bekerja menjadi buruh harian dan tanpa penghasilan yang tetap atau jelas. Tidak heran jika ada order untuk menebang pohon di Tripa, akan cepat diterima. Ada sebuah keterkaitan rantai ekonomi antara masyarakat kecil dengan masyarakat ‘besar’, entah itu pribadi-pribadi yang bermodal, atau tangan-tangan perusahaan.  Jika mau ditelusuri lebih lanjut, sebagian besar pemilik kebun rakyat (bukan perusahaan) adalah segelintir individu kelas atas, sementara masyarakat penebang, selanjutnya akan berpindah menebang di tempat lain.

Gambaran di atas, umum terjadi di Aceh, bahkan di seluruh Indonesia.
Jika rawa tripa kehilangan fungsi alaminya, maka yang rugi adalah:
  1. Masyarakat sekitar, karena terjadi penurunan kualitas air tanah, menyebabkan kerusakan / kematian tanaman (selain sawit tentunya), dan sekaligus akan memutus rantai ekosisten setempat.
  2. Regional Nagan Raya, karena dampak negatif degradasi lahan akan menyebar bukan hanya di kecamatan Tripa. Implikasinya, akan diperlukan tambahan investasi yang tidak sedikit untuk penyediaan air bersih, restorasi yang mahal (jika ada niat baik) dan ini cendrung gagal, serta import (mendatangkan) sapras dari luar daerah (uang keluar).


Sampai di sini, ringkasnya adalah, menjaga hutan Tripa sebenarnya merupakan ‘kepentingan ’Nagan Raya’.  Mengapa masyarakat dunia juga peduli ?  Jelas karena mereka juga punya kepentingan, dalam tataran yang lebih luas (global)
   
     (bersambung)                                                                        jokowi calon gubernur pilkada jakarta

Selasa, 21 Juli 2009

Orangutan Leuser Semakin Terjepit

Mengikuti dan 'mengintip' orangutan di habitat aslinya benar benar suatu pengalaman yang mengesankan. Kita akan merasakan sesuatu yang berbeda dibandingkan dengan melihatnya di kebun binatang. Di habitat alami, terlihat jelas bagaimana mereka berupaya bertahan hidup, mencari makanan di habitat yang telah rusak.

Orangutan Sumatera merupakan satu dari beberapa spesies langka dan dilindungi. Secara alami hidup di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Kawasan konservasi ini terluas di Indonesia dan mewakili landscape-alami-lengkap. Luasnya sekitar 2,1 juta ha.

Tujuan utama penunjukan batas KEL adalah untuk melindungi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), sebagai pusat KEL. TNGL secara administratif pemerintahan berada di Aceh Tenggara, Singkil, Aceh Selatan and Langkat Sumatera Utara. Taman nasional ini telah tercatat sebagai satu dari beberapa World Heritage Site pada tahun 2004.

Ringkasan Kebijakan / Policy dapat dilihat di sini. Implementing kebijakan tidak berjalan dengan baik karena kebutuhan lokal yan berbeda dengan visi nasional ataupun dunia. Masyarakat lokal memerlukan lahan untuk berbagai keperluan mulai lahan kebun sampai pemukiman. Tidak mengherankan jika sebagian lahan TNGL telah berubah menjadi perkebunan maupun pemukiman, dan berdampak pada ter-fragment-nya habitat orangutan.

Seperti terlihat pada Tabel simulasi kabupaten, luas lahan yang dapat 'diolah', oleh pemerintah daerah maupun masyarakat adalah sangat terbatas.

Awalnya, mudah untuk melihat orangutan maupun kekayaan biodiversitas lainnya di lokasi wisata Ketambe, Bahorok, Gurah, dan site lainnya dalam TNGL, berbeda jauh sejak tahun 2000an. Saya agak beruntung dapat merekam 'perjuangan' orangutan di habitatnya Maret 2009, musim buah favorite orangutan sedang berlangsung.

Bagaimana cara memberi mereka kehidupan yang lebih baik dengan tetap mengakomodir kepentingan masyarakat setempat? Beberapa usaha telah dilakukan oleh NGO seperti Leuser International Foundation (YLI) and peneliti, namun hasilnya mendekati nol.

Kegagalan desaign project atau mungkin hutan memang harus habis?