Sawit di lahan gambut Rawa Tripa Aceh

Perambahan Hutan di Aceh; potret kehidupan masyarakat

Pembakaran lahan untuk mengusahakan kebun merupakan hal yang umum terjadi. Selain murah dan praktis, pembakaran juga dianggap dapat meningkatkan kesuburan lahan kebun

Penambangan Tradisional di Aceh

Sebuah tantangan untuk menghidupi keluarga. Daerah kerja yang berat dan resiko kerja yang tinggi. Perlu sebuah pembinaan agar penurunan kualitas lingkungan tidak terjadi begitu besar. Dan dapatkah kegiatan ini menjadi usaha ekonomi yang lestari?

Cendana Aceh

Cendana Aceh ini dalam bahasa pemasaran masuk dalam kelompok 'cendana jenggi'. Berbeda dengan Cendana NTT (,Santalum album, yang memiliki aroma khas yang kuat, cendana jenggi beraroma kurang kuat, namun memiliki peluang ekspor yang besar untuk pasar Cina dan Timur Tengah. Perlu pengembangan oleh pemerintah daerah

This is

Go to

Rabu, 22 Juli 2009

Bahaya Merkuri Bagi kesehatan dan Lingkungan


Merkuri dan semua senyawa merkuri tergolong sebagai racun berbahaya. Senyawa ini dapat merusak otak dan jantung. Jika tersentuh kulit, dapat menyebabkan alergi. Methyl mercuri dikenal sebagai senyawa paling beracun, dengan kandungan yang kecil saja, dan dapat menyebabkan kerusakan saraf dan kematian. Merkuri dapat menghambat perkembangan saraf janin, balita dan anak anak sehingga menghambat daya kerja otak, kemampuan bicara, dan motorik. Kenapa posting ini? Karena merkuri mulai banyak digunakan untuk penambangan emas di Gunung Ujeun Aceh Jaya.


Proses kontaminasi merkuri terhadap manusia

Merkuri secara perlahan dapat menguap sehingga menjadi racun yang sangat berbahaya jika terhirup.

Contohnya: kebocoran thermometer pengukur suhu, berarti terdapat racun dalam ruangan tersebut. Tanpa sadar. Pembakaran batu bara, minyak, atau kayu yang tercemar merkuri. Berbeda dengan ruangan terbuka, kandungan merkuri di udara mungkin sangat rendah, namun merkuri akan terendap ke tanah ketika turun hujan, selanjutnya dapat mengalir ke saluran air sehingga meracuni hewan ir ataupun ikan.

Setelah merkuri berada di sungai, danau, dan laut, terjadi proses transformasi merkuri menjadi methyl mercuri. Senyawa ini sangat beracun dan bioakumuatif (dapat terserap dan mengendap dalam struktur biologi). Ikan merupakan hewan air yang dapat memakan methyl merkuri langsung dari air ketika memakan makanannya.

Siklus methyl merkuri sangat kompleks. Ringkasnya seperti pada skema di atas. Methyl merkuri terakumulasi pada level akhir rantai makanan -siapa lagi kalau bukan manusia- sebuah rantai makanan (food chain). Plankton menyerap methyl merkuri, kemudian dimakan ikan, dan seterusnya sampai berada dalam jaringan sel manusia.

Belum diketahui cara yang tepat untuk mengurangi kandungan merkuri dalam ikan waktu proses pembersihan dan pemasakan ikan. Cara yang terbaik adalah; WASPADALAH !

Selama ini ikan dikenal sebagai hewan dengan kandungan merkuri paling tinggi, ternyata ada penemuan baru bahwa kandungan merkuri dalam laba-laba lebih tinggi dari ikan, diikuti oleh belalang. Laba laba / belalang dimakan burung dan ditemukan 12 dari 13 burung yang diteliti mengandung kadar merkuri yang tinggi dalam di darahnya. Bayangkan jika laba laba atau belalang itu dimakan oleh ayam, dana ayam itu anda makan. Syerem

Selasa, 21 Juli 2009

Pembangunan Jalan Bulusema Rawa Singkil: Potret Pertarungan Kepentingan; Ketidakadilan Lingkungan

Terkesan aneh jika dalam satu pertemuan resmi yang dipimpin Gubernur, tiba tiba menjadi ajang perang mulut dan pergulatan antar dua tokoh NGO lingkungan. Fokus yang dibahas adalah rencana peningkatan ruas jalan Bulusema, Aceh Selatan.

Secara sederhana, pergulatan itu bisa dikatakan sebagai pertarungan kepentingan NGO lokal vs NGO dunia. Pertarungan masyarakat lokal dengan masyarakat dunia. Pertarungan kepentingan pembangunan ekonomi dengan Perlindungan Keaslian Lingkungan.

Beberapa fakta:
  • Bulusema mulanya sebuah desa, dan kini berkembang menjadi kota kecil. Kota ini terisolasi karena kurangnya fasilitas jalan yang layak. Sebagian daerah dikelilingi oleh Suaka Alam Rawa Singkil, satu dari sekian kawasan lindung di Aceh.
  • Atas loby panjang karena isu lingkungan, Menteri Kehutanan akhirnya mengeluarkan SK Menhut penyetujuan peningkatan ruas jalan lama ke Bulusema.
  • Walhi Aceh melaporkan Menhut ke Markas Polri dengan tuduhan pelanggaran hukum, menyulut kemarahan aktivis NGO lokal dan masyarakat Bulusema dalam rapat.
Bulusema dalam kenyataan sudah duluan eksis sebelum adanya keputusan pemerintah tentang keberadaan kawasan lindung Rawa Singkil.

Yang jadi masalah dan pertanyaan, yang mana harus didukung?
  • Bulusema dan masyarakatnya atau Suaka Alam Rawa Singkil dan satwa liarnya?
  • Kampanye international perlindungan habitat atau pembangunan ekonomi regional?
Kedua pihak atau isu tersebut perlu didukung. Kita perlu melindungi habitat pelestarian alam. Namun kita juga perlu memfasilitasi pembangunan ekonomi wilayah dan peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan lindung. Ada yang bilang, jalan tersebut sudah ada sejak jaman penjajahan. Artinya, pembukaan kawasan ini sudah fakta kuno. Kenapa di jaman sekarang malah jadi masalah?

Untuk menjawab kedua masalah itu, Ketidakadilan Lingkungan (environmental Injustice) harus disingkirkan.

Banyak Ketidakadilan Lingkungan di Aceh. Banyak ‘Bulusema’ lain. Pameu di Aceh Tengah merupakan daerah administrative tua sejak jaman Belanda, namun sebagian daerah ini sekarang masuk sebagai kawasan hutan lindung karena berada di daerah burgunung gunung. Ketambe di Aceh Tenggara, di tetapkan / dikenal sebagai kawasan perlindungan, penelitian dan rehabilitasi orangutan, namun saat ini telah banyak desa di Ketambe. Ketambe bahkan telah menjadi sebuah Kecamatan. Pergilah ke Pameu dan Ketambe, hutannya sudah (segera) menghilang berikut kekayaan keragaman hayatinya.

Hubungannya dengan ketidakadilan lingkungan?

Pada awal pengelolaan hutan lindung Pameu ataupun Ketambe, masyarakat local banyak yang miskin dan terbelakang. Mereka tidak diizinkan memanfaatkan hutan. Kontras dengan kucuran dana yang besar untuk membeli susu bagi orangutan dan biaya operasional lembaga NGO yang melimpah. Akhirnya, terjadi kecemburuan lingkungan. Hutan tetap rusak.. akibat Ketidakadilan Lingkungan.

International NGOs gencar kampanye membatalkan rencana pembagunan jalan Ladia Galaska untuk meningkatkan ruas jalan yang telah ada sejak jaman belanda di dalam dan sekitar kawasan ekosistem Leuser. Dampaknya, masyarakat local beberapa kabupaten harus membayar biaya trasportasi dua sampai empat kali lebih mahal. Produk lokal menjadi kurang kompetitif, produk luar yang dibawa ke daerah menjadi mahal. Sebuah potret isu ketidakadilan lingkungan

Kasus yang mirip. Ekosistem Leuser (KEL) penting untuk mengurangi laju pemanasan global. Kampanaye 'Hentikan pembangunan jalan' sempat menggelembung. Namun jarang sekali NGO lingkungan berbicara tentang pengentasan kemiskinan masyarakat di dalam maupun sekitar KEL. Sebuah Environmental injustice.

Jaga penutupan hutan Ulu masen ! dapatkan $7/ha/tahun, biar kami NGO asing dan perusahaan asing yang kelola, stop degradasi lahan, tanam pohon hutan, jangan sawit atau kebun. Jarang sekali dibicarakan jika net present value (NPV) sawit bisa tiga puluh kali lebih tinggi dari hutan alam.

Staf NGOs international di Indonesia dibayar sebagai ‘expatriat’, dapat bayaran dalam dolar dan belanja dalam rupiah, staf lokal dibayar dengan rupiah dan belanja dengan rupiah. Staf NGO mendapat standar hidup yang lebih tinggi dari pada masyarakat miskin di sekitar. Semuanya potret Ketidakadilan Lingkungan.

Bagaimana jika staf NGO dan expatriat berganti peran dengan masyarakat miskin sekitar hutan atau (terpaksa) menjadi perambah hutan?

Kesimpulannya? Kembali ke Pemerintah Pusat dan Provinsi. Yang jelas, tanpa upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, pengelolaan kawasan konservasi dan kawasan lindung akan gagal walau dengan beribu polisi hutan (bentara uteun rimba).

Orangutan Leuser Semakin Terjepit

Mengikuti dan 'mengintip' orangutan di habitat aslinya benar benar suatu pengalaman yang mengesankan. Kita akan merasakan sesuatu yang berbeda dibandingkan dengan melihatnya di kebun binatang. Di habitat alami, terlihat jelas bagaimana mereka berupaya bertahan hidup, mencari makanan di habitat yang telah rusak.

Orangutan Sumatera merupakan satu dari beberapa spesies langka dan dilindungi. Secara alami hidup di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL). Kawasan konservasi ini terluas di Indonesia dan mewakili landscape-alami-lengkap. Luasnya sekitar 2,1 juta ha.

Tujuan utama penunjukan batas KEL adalah untuk melindungi Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL), sebagai pusat KEL. TNGL secara administratif pemerintahan berada di Aceh Tenggara, Singkil, Aceh Selatan and Langkat Sumatera Utara. Taman nasional ini telah tercatat sebagai satu dari beberapa World Heritage Site pada tahun 2004.

Ringkasan Kebijakan / Policy dapat dilihat di sini. Implementing kebijakan tidak berjalan dengan baik karena kebutuhan lokal yan berbeda dengan visi nasional ataupun dunia. Masyarakat lokal memerlukan lahan untuk berbagai keperluan mulai lahan kebun sampai pemukiman. Tidak mengherankan jika sebagian lahan TNGL telah berubah menjadi perkebunan maupun pemukiman, dan berdampak pada ter-fragment-nya habitat orangutan.

Seperti terlihat pada Tabel simulasi kabupaten, luas lahan yang dapat 'diolah', oleh pemerintah daerah maupun masyarakat adalah sangat terbatas.

Awalnya, mudah untuk melihat orangutan maupun kekayaan biodiversitas lainnya di lokasi wisata Ketambe, Bahorok, Gurah, dan site lainnya dalam TNGL, berbeda jauh sejak tahun 2000an. Saya agak beruntung dapat merekam 'perjuangan' orangutan di habitatnya Maret 2009, musim buah favorite orangutan sedang berlangsung.

Bagaimana cara memberi mereka kehidupan yang lebih baik dengan tetap mengakomodir kepentingan masyarakat setempat? Beberapa usaha telah dilakukan oleh NGO seperti Leuser International Foundation (YLI) and peneliti, namun hasilnya mendekati nol.

Kegagalan desaign project atau mungkin hutan memang harus habis?

Penanam Mangrove Bekas Sunami: Adakah kesalahan fatal?

Yang pernah ke Banda Aceh selama masa tanggap darurat, tentu punya memory pribadi tentang Aceh dan Lingkungannya. Banda Aceh terkesan seperti kota hantu: tanpa pemerintahan yang jelas, mayat bergelimpangan dengan sampah dan reruntuhan, tanpa fasilitas pelayanan publik, dan aktivitas ekonomi berhenti, penduduk kota berusaha mengungsi ke luar kota.



NGO lingkungan hidup telah cepat bergerak dengan fokus pada rehabilitasi lingkungan. Pendampingan masyarakat dilakukan bersamaan dengan kegiatan reklamasi dan rehabilitasi, khsusnya rehabilitasi mangrove. Setelah setahun tsunami, tercatat sekitar 124 NGO internasional, 430 NGO nasional, lusinan lembaga donor dan organisasi PBB. Institusi pemerintah asing dan militer.

Sejak masa masa itu, kata kata MANGROVE telah menjadi populer di kalangan masyarakat setempat, menggantikan kata kata BAK BANGKA. Di tingkat dunia pun, MANGROVE menjadi pembicaraan hangat sebagai zona alami untuk perlindungan pantai.

Selama masa Rehabilitasi dan Rekonstruksi, April 2005 - April 2009, kompetisi antar lembaga lingkungan: NGO dan pemerintah terkesan 'sangat ketat'. Bahkan beberapa NGO non lingkungan yang semula tidak mengurusi mangrove, ikut ikutan latah menanam mangrove. Yayasan yang biasa ngurusi gajah sumatera, berpidah main di pantai berlumpur, NGO kesehatan berpindah ke kesehatan pantai, tanam mangrove. Lembaga pemerintah yang menangani pemberdayaan penduduk desa, ikut ikutan ngajak masyarakat bertanam (bukan menanam) mangrove. Semua tertarik dengan mangrove. Dana melimpah 'dibenam ke pantai'

Apa hasilnya?

Evaluasi UNEP setelah delapan belas bulan pasca tsunami, prosen tumbuh bibit mangrove hanya 40 - 60 %. Persentase ini pasti akan jauh lebih kecil saat ini (2009) karena waktu itu bibit masih berumur 1- 2 bulan (belum mencapai umur yang stabil untuk bertahan hidup). Bibit tanpa naungan, ketidaksesuaian jenis dengan lokasi, -pola harian dan bulanan gelombang, kering, jenis media (pasir?, lumpur? berlumpur?) kadar salinitas (muara? pantai?) Download Laporan(UNEP, 2007)

Hingga Maret 2009, berdasarkan survey tidak terstruktur dan diskusi informal, bisa diperkirakan bahwa prosen bertahan hidup (survival rate) mangrove hasil rehabilitasi hanya berertahan sekitar 10%. Menyedihkan.

Mungkin benar alasan yang mengatakan tenaga kerja lokal kurang terlatih, namun bagaimana dengan staf proyek? Designer proyek? Apakah juga tidak terlatih? Bahkan banyak yang expert dengan pengalaman internasional.

Apakah rehabilitasi mangrove hanya berbasih project setelah menjual isu?

Senin, 20 Juli 2009

Peraturan Menteri Kehutanan baru dalam REDD Indonesia.

Pelaksanaan implementasi skema REDD telah menuai perdebatan karena ketiadaan legislasi nasional tentang REDD. Beberapa isue adalah: Kemitraan pemerintah provinsi/kabupaten dengan perusahaan asing yang merugikan daerah, profit sharing hanya sekitar 30%. Tidak ada posisi formal yang jelas bagi masyarakat adat maupun pedesaan sekitar hutan dalam mekasisme REDD. Tidak ada peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi, Peran yang tidak jelas antara Pemerintah Pusat dengan pemerintah provinsi/kabupaten, dll.

Sejak dikeluarkannya Permenhut 30/2009, 1 May 2009, beberapa permasalahan diatas telah mendapat payung hukum.

  1. Memungkinkan berbagai pihak untuk mengimplementasikan REDD baik di hutan negara maupun lahan pribadi (Pasal 1,4,9). Ada peluang bagi perusahaan swasta dan masyarakat untuk menjalankan konsep 'hak karbon' (carbon right concept), REDD project di hutan lindung, hutan konservasi, dan hutan produksi produksi.
  2. Memberi kesempatan pada masyarakat lokal dan masyarakat adat untuk berpartisipasi. (Ps l 4). One step ahead dari Convention of party (COP) terakhir di Poznan, Polandia dimana aliansi masyarakat adat internasional masih berjuang untuk mendapatkan pengakuan dalam skema REDD global.
  3. Proposal proyek REDD untuk masyarakat adat, Hutan desa, Hutan/lahan milik, harus mendapatkan rekomendasi dan dikeluarkan oleh pemerintah Kabupaten dan Provinsi (art’l 8-10).
  4. Kecuali hutan konservasi, usulan REDD harus direkomendasikan oleh pemerintah provinsi. (art’l 5-7). Artinya, pemerintah kabupaten tidak dapat 'semena mena' mengeluarkan rekomendasi.
  5. Aliran financial yang di dapat dari REDD ditangani oleh pemerintah pusat berdasarkan undang - undang keuangan nasioanl. Untuk kasus Aceh, Point ini akan menjadi bahan yang menarik, mengingat Undang - Undang tentang Pemerintahan Aceh, memungkinkan Aceh untuk mendapatkan sumber pembiayaan dari luar negeri.

Masih banyak kelebihan dan kelemahan lain. di bahas lain waktu.

Sedang capek banget

Komen aja dulu yach..

Tricky agreement REDD antara beberapa NGO Internasional Amerika dengan Industry Penghasil Polusi

Reduction Emission from Deforestation and Degradation (REDD) atau Pengurangan Emisi dari deforestasi dan Degradasi Lahan bisa saja memiliki spirit yang bagus dalam menjawab tantangan perubahan iklim dunia, namun beberapa pihak masih pesimis menyangkut skema implementasinya. Sebagaimana yang dilansir sebuah situs independen akhir May 2009, beberapa opportunist bergentanyangan. Clik judul untuk ke situsnya.

Beberapa NGO besar Amerika: American Electric Power, Conservation International, Duke Energy, Environmental Defense Fund, El Paso Corporation, National Wildlife Federation, Marriott International, Mercy Corps, Natural Resources Defense Council, PG&E Corporation, Sierra Club, Starbucks Coffee Company, The Nature Conservancy, Union of Concerned Scientists, The Walt Disney Company, Wildlife Conservation Society, and the Woods Hole Research Center- telah meratifikasi kerjasama dan nota kesepahaman dengan industri penghasil polusi besar. 'Kerjasama' ini mengijinkan Industry untuk mendapatkan kredit (bantuan) jika mereka membiayai project konservasi sumberdaya alam -biasanya berhubungan dengan hutan dan lahan. Pada saat bersamaan, industry penghasil polusi tetap diperbolehkan terus mengeluarkan CO2.

Contoh logikanya, Industri membiayai proyek konservasi sebesar $1000, kemudian mendapat kredit karena 'kepeduliannya' dengan REDD dan Climate Change. Saat yang sama, mereka bebas berpolusi untuk meraup keuntungan. Seru!. Belum jelas apakah 'kredit' ini berasal dari 'Cap and Trade' melalui proses bidding (lelang) atau dari kucuran 'kantung' dana REDD. Beberapa NGO tersebut pernah atau sedang beroperasi di Aceh, seperti the Conservation International dan Mercy Corps.

Yang jadi permasalahan;
  1. Ada kemungkinan terjadi 'monkey business', persekongkolan, antara industri trans nasional (TNCs) dengan NGO internsional.
  2. Kawasan hutan negara, bisa secara de facto dikuasai oleh satu lembaga NGO/Industry, a global asset. Pemilik baru membayar $x sementara perusahaan TNC mendapat $xxx and tetap bebas mengeluarkan polusi.
  3. Berdasarkan pengalaman uji coba proyek REDD, sekitar 30-50% uang yang diberikan kepada negara/daerah pemilik hutan/lahan WAJIB digunakan untuk managerial fee, sebagian besar fee tersebut keluar lagi ke negara asing. Ini artinya, pemilik hutan hanya mendapat $1/2x.

Dalam perspektif ekonomi lingkungan teory carbon offsetting, memungkinkan bagi berbagai pihak, baik NGO atau perusahaan, untuk menjual atau membeli 'permit' yang diukur dengan besaran angka kredit. Sehingga, satu industri polluter melakukan semacam pembayaran kompensasi atas pollusi yang dihasilkannya, membeli 'permit' industri lain sehingga 'saingannya' tidak boleh beroperasi melebihi batasan produksi CO2 tertentu. Semuanya permainan ekonomi global. Jangan ikut ikutan jika tidak paham dan tidak punya link kuat di tingkat makelar dunia!.

Untuk selanjutnya, Pemerintah RI dan Aceh perlu menyusun instrumen hukum yang kuat dalam pelaksanaan mekanisme REDD, yang di tingkat dunia pun masih mengalami perdebatan.
Ada ide?

AcehInfo DevINFO: Software Data Base Handal dan Gratis

Sering kerja dengan pengelolaan dan pengolahan data? Bekerja dengan data yang kompleks ngurusi isu isu Managemen Lingkungan? Kemiskinan? Kependudukan? Population? kebersihan? Managemen Sumberdaya Alam? Sumberdaya Manusia? Geographic Information System? data base? Atau bahkan gabungan dari semuanya?

Devinfo benar benar sebuah software yang friendly, mudah digunakan, cocok buat pengguna dengan latar belakang keahlian minim dalam masalah Information Technology. Pengguna bisa menyimpan, melakukan kompilasi, membandingkan dan menguji data data terkait dengan background gambar dari GIS, dan menampilkannya dalam bentuk hasil Excell, Word, PDF, Power Point. Beberapa peta Geographical Information System bisa juga diedit sebelumnya. layaknya menggunakan software GIS untuk menyempurnakan tampilan peta. Software ini GRATIS.

Devinfo sedang digunakan dalam berbagai project PBB di berbagai negara Seorang volunteer staff PBB bilang bahwa software ini telah dipakai di sembilan puluh satu negara.

Salah satu hasil 'turunan' dari DevInfo adalah AcehInfo, disediakan oleh UNORC untuk membantu Pemerintah Aceh dalam penanganan management data base. Program ini patut dicoba oleh perusahaan swasta, mahasiswa, PNS, NGO, dll untuk berbagai keperluan. Jika berminat, silahkan mempelajari tutorialnya di DevInfo.org

Lembaga Baru untuk Penanganan Bencana Alam

Jika bencana alam muncul, siapa yang paling menderita?

Jelas warga sekitar. Sayangnya, penanganan kejadian dan korban biasanya selalu terlambat, dengan berbagai alasan. Kurang persiapan kebencanaan, bantuanh kemanusiaan sering terlambat, sehingga banyak korban semakin menderita. Sulit mencapai lokasi bencana dan keterbatasan dana operasional juga kerap menjadi alasan.

Bantuan logistik seperti tenda, makanan, sering didistribusikan setelah 5 - 10 hari setelah kejadian. Bahkan bisa sebulan. Celakanya, jenis bantuan yang sama kadangkala datang bersamaan. 'Musim mi instan', 'Musim baju', saat bersamaan, tidak ada bantuan buat 'pembalut wanita' atau selimut. Antar lembaga pemerintah dan NGO juga bisa saling lempar tanggung jawab atau bahkan 'rebutan tanggung jawab'. Menyedihkan.

Untuk menjaring dan membangun kesepahaman, Dinas Kesehatan Aceh sedang mengadakan serangkaian pertemuan / workshop untuk mencari formulasi koordinasi yang efektif.
* April 2009 => pengumpulan isu tentang cara dan hambatan yang dihadapi oleh instansi kabupaten/kota dalam penanganan bencana.
* Awal Juli 2009 => Pertemuan telah dilakukan untuk mencari pola operational yang efektif untuk melakukan koordinasi. Hasil diskusi pertemuan ini memberi rekomendasi kepada Gubernur untuk mempercepat pembentukan semacam Badan Penanggulangan bencana dan Pengungsi Daerah (BPPD)

Beberapa pertemuan susulan akan difokuskan pada mapping lanjutan

Pembentukan BPPD dianggap mendesak terkait juga dengan wacana pembentukan Badan Badan Penanggulangan Bencana Nasional untuk menggantikan Bakornas. Badan nasional baru ini akan dipimpin oleh pejabat setingkat menteri dan menjalankan komando penanganan saat terjadinya bencana.

Tantangan Kota Banda Aceh Peraih Adipura

Pada Hari Lingkungan lalu 5 Juli, BANDA ACEH dapat pengharagaan adipura dari Presiden SBY untuk kategori Kota Sedang. Tiga kota lain kategori kota kecil, Lhokseumawe, Sabang, Kualasimpang, dapat Lecana Adipura dari Menteri Lingkungan Hidup.

Adipura Award diberikan buat kota yang dinilai BERSIH DAN SEHAT, sedangkan LENCANA ADIPURA diberikan untuk kota BERSIH tapi BELUM SEHAT. Maksudnya kota yang bagus dalam mengurusi sampah dan air bersih tapi masih perlu perbaikan dalam mengelolaan infrastructure kota yang sehat.

Kalau Banda Aceh dapat penghargaan ‘kota bersih dan sehat’, apa benar benar sehat? Banyak debu beterbangan di kota, meracuni warga, apalagi waktu ada angin. Debu jalanan di Acehakan menggangu kesehatan warga: system pernafasan, kerongkongan, mata, dan kulit. Bisa diperkirakan, 10 tahun ke depan, akan banyak masalah kesehatan karena debu di kalangan warga kota Banda Aceh.

Untuk mengantisipasi, Walikota ataupun Pemerintah kota Banda Aceh, perlu dan harus melakukan:
  • Menyediakan dana untuk penghijauan kota dan penanaman pohon sepanjang jalan.
  • Membangun ruang terbuka hijau yang lebih baik
  • Mendistribusikan bibit tanaman / buah untuk ditanam di pekarangan warga
  • Penyediaan pupuk organic

Tambang Emas Gunung Ujeun Aceh Jaya dan Ancaman Merkuri


  • Gunung Ujeun di Kecamatan Krueng Sabee Aceh Jaya Kureng enam bulan ini jadi ngetop karena issu kandungan emasnya seperti ditulis dalam beberapa surat kabar. Masyarakat setempat berbondong bondong naik ke gunung menambang emas.

Menurut pejabat setempat, daerah ini diduga mengandung berbagai cadangan logam berlimpah dan dapat ditambang dengan mudah seperti nikel, emas, bijih besi dan potassium.

Husaini Syama'un, Kepala Badan Pengendalan Lingkungan Aceh, menyatakan di Serambi Indonesia bahwa kegiatan pertambangan emas di daerah ini mulai mengkhawatirkan karena mengancam kesehatan lingkungan hidup. Penyebabnya? Karena penggunaan senyawa kimia bernama MERCURI yang tidak terkontrol. Diperkirakan 14.400 liter air limbah bekas penambangan mengalir setiap harinya ke sungai Krueng Sabee. Ada dugaan juga, sekitar 600 kg merkuri dipakai setiap hari untuk kegiatan penambangan. Atau sekitar 18 ton merkuri. Jumlah yang luar biasa.

Merkuri tergolong sebagai BAHAN BERACUN BERBAHAYA (B3) bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Dampak limbah merkuri ini tidak hanya menyebar melalui hewan air / ikan seperti terlihat di skema. Ternyata merkuri juga ‘menyebar’ sampai ke puncak pohon dibawa oleh laba laba. Siencedaily.com merilis laporan ini tentang laba laba disekitar sungai yang tercemar merkuri.

Apa dampak masa mendatang karena merkuri?

Pengaruh tunggal merkuri terhadap ekosistem sekitarnya belum diketahui secara jelas, namun pengaruh negatifnya terhadap rantai makanan dan kesehatan manusia telah banyak diteliti.

Sederhananya, dampak merkuri :

  • Ikan ikan sungai akan mengandung merkuri
  • IKandungan merkuri beberapa jenis ikan laut akan terus meningkat
  • Ikan ber-merkuri dimakan manusia
  • Kandungan merkuri pada rantai makanan akan terus meningkat, selanjutnya akan berdampak pada manusia.
  • Jumlah masyarakat penderita berbagai penyakit metabolism akan meningkat karena Merkuri dapat menyebabkan kegagalan reproduksi, menyebabkan kematian walau pada dosis rendah Kerusakan otak, system saraf dan ginjal, Allergy kulit, Keterlambatan pertumbuhan saraf pada janin, bayi dan anak anak. Pengaruh daya ingat dan keterampilan pada anak anak.

Contoh kasus penambangan emas di Kalimantan tengah, hutan sekitar penambangan kini berubah menjadi ‘padang pasir. Populasi ikan turun 70%.

Penggunaan merkuri yang tidak terkendali di Gunung Ujeun, tentunya akan memiliki pola dampak yang sama seperti bekas penambangan di daerah lain.

Namun, meskipun berbahaya, mudah-mudahan Pemerintah Aceh tidak akan melarang masyarakat untuk melakukan penambangan. Masyarakat setempat perlu aktivitas ekonomi untuk meningkatkan standar hidup dan pemerintah perlu pemasukan kas daerah.

Tantangannya adalah bagaimana Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten Aceh Jaya dapat:

  • Merumusakan kebijakan daerah yang menjamin adanya pengurangan dampak negative dari pola penambangan terhadap ekosistem?
  • Bagaimana mengurangi dampak jangka panjang pengaruh merkuri terhadap kesehatan penduduk?
Gimana caranya?