Terkesan aneh jika dalam satu pertemuan resmi yang dipimpin Gubernur, tiba tiba menjadi ajang perang mulut dan pergulatan antar dua tokoh NGO lingkungan. Fokus yang dibahas adalah rencana peningkatan ruas jalan Bulusema, Aceh Selatan.
Secara sederhana, pergulatan itu bisa dikatakan sebagai pertarungan kepentingan NGO lokal vs NGO dunia. Pertarungan masyarakat lokal dengan masyarakat dunia. Pertarungan kepentingan pembangunan ekonomi dengan Perlindungan Keaslian Lingkungan.
Beberapa fakta:
- Bulusema mulanya sebuah desa, dan kini berkembang menjadi kota kecil. Kota ini terisolasi karena kurangnya fasilitas jalan yang layak. Sebagian daerah dikelilingi oleh Suaka Alam Rawa Singkil, satu dari sekian kawasan lindung di Aceh.
- Atas loby panjang karena isu lingkungan, Menteri Kehutanan akhirnya mengeluarkan SK Menhut penyetujuan peningkatan ruas jalan lama ke Bulusema.
- Walhi Aceh melaporkan Menhut ke Markas Polri dengan tuduhan pelanggaran hukum, menyulut kemarahan aktivis NGO lokal dan masyarakat Bulusema dalam rapat.
Yang jadi masalah dan pertanyaan, yang mana harus didukung?
- Bulusema dan masyarakatnya atau Suaka Alam Rawa Singkil dan satwa liarnya?
- Kampanye international perlindungan habitat atau pembangunan ekonomi regional?
Untuk menjawab kedua masalah itu, Ketidakadilan Lingkungan (environmental Injustice) harus disingkirkan.
Banyak Ketidakadilan Lingkungan di Aceh. Banyak ‘Bulusema’ lain. Pameu di Aceh Tengah merupakan daerah administrative tua sejak jaman Belanda, namun sebagian daerah ini sekarang masuk sebagai kawasan hutan lindung karena berada di daerah burgunung gunung. Ketambe di Aceh Tenggara, di tetapkan / dikenal sebagai kawasan perlindungan, penelitian dan rehabilitasi orangutan, namun saat ini telah banyak desa di Ketambe. Ketambe bahkan telah menjadi sebuah Kecamatan. Pergilah ke Pameu dan Ketambe, hutannya sudah (segera) menghilang berikut kekayaan keragaman hayatinya.
Hubungannya dengan ketidakadilan lingkungan?
Pada awal pengelolaan hutan lindung Pameu ataupun Ketambe, masyarakat local banyak yang miskin dan terbelakang. Mereka tidak diizinkan memanfaatkan hutan. Kontras dengan kucuran dana yang besar untuk membeli susu bagi orangutan dan biaya operasional lembaga NGO yang melimpah. Akhirnya, terjadi kecemburuan lingkungan. Hutan tetap rusak.. akibat Ketidakadilan Lingkungan.
International NGOs gencar kampanye membatalkan rencana pembagunan jalan Ladia Galaska untuk meningkatkan ruas jalan yang telah ada sejak jaman belanda di dalam dan sekitar kawasan ekosistem Leuser. Dampaknya, masyarakat local beberapa kabupaten harus membayar biaya trasportasi dua sampai empat kali lebih mahal. Produk lokal menjadi kurang kompetitif, produk luar yang dibawa ke daerah menjadi mahal. Sebuah potret isu ketidakadilan lingkungan
Kasus yang mirip. Ekosistem Leuser (KEL) penting untuk mengurangi laju pemanasan global. Kampanaye 'Hentikan pembangunan jalan' sempat menggelembung. Namun jarang sekali NGO lingkungan berbicara tentang pengentasan kemiskinan masyarakat di dalam maupun sekitar KEL. Sebuah Environmental injustice.
Jaga penutupan hutan Ulu masen ! dapatkan $7/ha/tahun, biar kami NGO asing dan perusahaan asing yang kelola, stop degradasi lahan, tanam pohon hutan, jangan sawit atau kebun. Jarang sekali dibicarakan jika net present value (NPV) sawit bisa tiga puluh kali lebih tinggi dari hutan alam.
Staf NGOs international di Indonesia dibayar sebagai ‘expatriat’, dapat bayaran dalam dolar dan belanja dalam rupiah, staf lokal dibayar dengan rupiah dan belanja dengan rupiah. Staf NGO mendapat standar hidup yang lebih tinggi dari pada masyarakat miskin di sekitar. Semuanya potret Ketidakadilan Lingkungan.
Bagaimana jika staf NGO dan expatriat berganti peran dengan masyarakat miskin sekitar hutan atau (terpaksa) menjadi perambah hutan?
Kesimpulannya? Kembali ke Pemerintah Pusat dan Provinsi. Yang jelas, tanpa upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, pengelolaan kawasan konservasi dan kawasan lindung akan gagal walau dengan beribu polisi hutan (bentara uteun rimba).
0 comments:
Posting Komentar